Kembangkan AI untuk Deteksi Kesehatan Mental Lewat Ekspresi Wajah

Yogyakarta – Masalah kesehatan mental di dunia kerja kini menjadi perhatian serius. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, setidaknya 15 persen pekerja di seluruh dunia akan mengalami gangguan mental seperti depresi atau kecemasan pada satu titik dalam hidup mereka. Dampaknya tidak main-main: miliaran hari kerja hilang setiap tahun dan kerugian ekonomi bisa mencapai hampir satu triliun dolar AS. Melihat besarnya persoalan ini, penelitian untuk menemukan cara deteksi dini yang praktis dan akurat menjadi sangat penting.

Berangkat dari urgensi tersebut, Mujiyanto, mahasiswa Program Doktor Informatika Universitas Amikom Yogyakarta, melakukan riset tentang bagaimana kecerdasan buatan dapat membaca emosi manusia hanya melalui ekspresi wajah. Ia mengembangkan sistem Facial Expression Recognition (FER) berbasis arsitektur Swin Transformer, sebuah teknologi deep learning terbaru yang mampu memahami pola halus dalam gambar. Tidak hanya menggunakan metode yang sudah ada, Mujiyanto menambahkan pendekatan baru berupa enhanced dropout dan layer-wise unfreezing untuk mencegah overfitting sehingga model bisa lebih tangguh saat digunakan pada data nyata.

Penelitian ini semakin menarik karena diarahkan untuk dunia kerja, khususnya di bidang sumber daya manusia (HR). Melalui sistem yang dibangunnya, ekspresi wajah karyawan saat absensi harian dapat dianalisis untuk memprediksi kondisi emosional mereka. Hasil analisis kemudian dikonversi menjadi skor kesehatan mental yang menunjukkan risiko terjadinya stres atau depresi dalam 30 hari ke depan. Dengan cara ini, perusahaan dapat melakukan langkah pencegahan lebih cepat sebelum masalah berkembang menjadi lebih serius.

Hasil uji coba yang dilakukan Mujiyanto menunjukkan temuan yang menjanjikan. Dari tiga model (A,B,C) yang dikembangkan, Model C, dengan kombinasi teknik baru tersebut, berhasil mencapai akurasi 71,23% pada dataset FER2013 dan 78,65% pada dataset CK+, dua basis data internasional yang sering dipakai untuk riset pengenalan ekspresi wajah. Model ini juga diuji pada data nyata dari lingkungan kerja dan terbukti mampu memberikan prediksi yang konsisten, dengan skor kesehatan mental pekerja berada di rentang 50,93 hingga 53,00. Angka ini menandakan sistem sudah cukup sensitif untuk mendeteksi tanda-tanda awal risiko mental.

Menurut Mujiyanto, penelitian ini tidak hanya menambah kontribusi akademik di bidang kecerdasan buatan, tetapi juga membuka peluang penerapan nyata di perusahaan. Teknologi ini bisa menjadi alat bantu HR untuk menjaga kesejahteraan karyawan secara lebih sistematis, akurat, dan non-invasif. “Kesehatan mental adalah fondasi produktivitas. Dengan teknologi ini, perusahaan dapat lebih peduli pada kondisi psikologis pekerja tanpa harus menunggu gejala berat muncul,” ujarnya. Penelitian ini sekaligus menunjukkan bahwa inovasi digital dari dunia kampus bisa memberikan dampak langsung bagi kualitas hidup dan dunia kerja.

Translate »